Kini usiaku hampir genap 46 tahun, tidak terasa waktu sudah begitu cepatnya memutar hingga aku lupa siapa diriku sebenarnya. Namun aku masih ingat waktu aku masih kecil, sering kali aku diajak pergi dan di gendongnya dialah yang mengajarkan aku tentang cinta, ibuku tercinta.
Tidak akan aku lupakan siapa dirinya dialah yang selalu memberikan motivasinya padaku walaupun aku masih anak-anak dan belum tahu apa-apa yang hanya aku mengerti adalah bagaimana menikmati masa untuk bermain dan belajar. Seharusnya aku hidup bahagia bersama kedua orang tuaku namun ayah sudah meningalkanku sendiri.
Sudah hampir 30 tahun lamanya namun aku masih ingat kejadian yang tidak mungkin aku terlupakan. Tepat aku baru menikmati udara segar dunia ayah meninggal dunia. Tapi, aku masih merasakan getar jiwa yang selalu membuat detak jantungku berdetak kencang, saat aku dengan ibu bermain ditaman dengan kemegahan rumah yang sederhana.
Aku mengingatnya saat ia menyuapi makan dan memberikan sebotol susu untuk aku minum. Ia masak sendiri, dibuatnya susu dengan kasihnya. Ruangan dirumah begitu megah dengan keharuman bunga melati yang memberikan kesuciannya untuk merawatku.
Saat aku diajaknya kepantai memandang ombak yang memecah saat menyentuh batu karang dengan butiran-butiran pasir putih. Langit-langit biru memberikan suasana kekeluargaan dengan didampingi awan putih dan rapinya burung angsa terbang bersama sanak family menuju halaman rumah.
Di kebun binatang aku diajarkanya mengenali namanya dan memberikan sedikit makanan untuk mereka walau mereka berbeda dengan jenisku namun kita sama-sama mahluk hidup yang diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya.
Memandang matahari berwarna kekuningan yang terbenam menuju cakrawalnya memiliki warna kelabu dan bunga sansivera yang mirip lidah naga menjulang keatas menunduk meminta rahmat kehidupan.
Namun apakah kau menyadarinya, ataukah hanya aku saja yang memikirkannya. begitu banyaknya kebahagiaan yang aku terima walapun hanya dengan ibuku saja. Rela untuk merawatku sendiri, yang sebenarnya umur ibu masih muda dan pantas kalau ia harus menikah lagi akan tetapi karena cinta telah meluluhkan hatinya yang hanya di labuhkan untuk ayah saja. Begitu besarnya rasa cinta ibu kepada ayah sampai ia tidak menginginkan kenikmatan lain selain membesarkan aku dengan rasa cinta.
Namun apakah kau tahu, ataukah hanya aku yang mengerti. Itu hanya aku rasakan hanya 9 tahun saja, saat-saat kejadian yang membuatku mengeluarkan air mata darah. Aku tidak akan melupakanya, saat-saat aku diajaknya berdagang dikenalkannya cara hidup sesungguhnya dengan ekonomilah kita hidup maka jalankan hidupmu dengan landasan muamalat, hubungan satu dengan yang lainnya antara Tuhan, alam dan manusia.
"Tapi siapa aku sebenarnya". Atau aku yang hanya mengenal masa lalu
"Pyaaaar". Tampak gelas diatas meja jatuh kelantai, serpihan kaca berkialu-kilau diatas putinya air minuman.
Sontak pecahan gelas mengkagetkan penghuni rumah, Mbok Ijah keluar dan berusaha membersihkan serpihan kaca namun semakin membuat dia tak percaya mengapa Den Aji sampai melakukan ini. Padahal tidak pernah Den Aji marah ataupun sampai memecahkan barang-barang, yang ia tahu kebijakan selalu menyinari wajahnya. atau mungkin tidak sengaja, berfikir positif ajalah. Mbok Ijah mengerutu sendiri
"Maaf Den Aji, ada apa to, apa mo aku buatkan kopi saja". Mbok Ijah menawarkan minuman yang berbeda
"Mbok, aku minta maaf mungkin sudah bikin kaget sampeyan"
"Ngak pa pa Den, malahan Mbok Ijah senang kan malah ada tambahan kerjaan he he he". Sambil tertawa dan diajaknya bercanda
"Ya...udah Mbok buatkan aku kopi dan siapkan makanan ringan, dibawa ke meja taman ya Mbok".
"Beress Den Aji, lets go". Mbok Ijah kegirangan karena disuruh tuannya. Den Aji tidak hanya hidup bersama Mbok Ijah namun sudah memiliki istri yang cantik dan memilik dua orang anak. Anak pertama sudah kuliah disalah satu perguruan tinggi di Semarang biar bisa di laju dari rumah dan si ragil masih belajar ilmu agama di pesantren yang berada di Jawa Timur. Istrinya tercinta memang pada saat ini tidak ada di rumah. Pagi itu sudah meningalkan kediamannya untuk mengamalkan ilmunya di taman kanak-kanak, di daerah terpencil mengajarkan anak belajar dan bermain.
Begitu indahnya kehidupan di rumah Den Aji, sampai-sampai Mbok Ijah sampai bertutur kata. Belum aku temui orang sebaik dan sebijak majikannya. Rumahnya yang begitu sederhana namun di hiasinya dengan lantunan melodi kasih dan sayang serta romantisme untuk selalu bertukar pikiran tanpa membedakan ini majikan, anak-anak, orang miskin atau orang bodoh. Taman-taman yang begitu rapi penataannya dibuatnya senidiri dengan berbagai jenis tanaman ada di sana sebut saja anturium, aglonema, sansivera, mawar, melati dll.
Tanah luas di sekitar taman itupun tidak hanya untuk dinikmati keluarga majikanya sendiri. Di bangunnya sangar belajar dan taman bermain untuk mendidik anak-anak yang kurang beruntung, kegiatan belajar-mengajarnyapun unik terkadang sore hingga sampai malam. Ada bangunan aula yang megah yang kata Den Aji di pergunakan untuk penunjang kegiatan dan forum-forum penting. Begitu....!
"Begitu dasyatnya aroma kebaikan, kebijakan dan pengusaha sukses pula". Tutur Mbok Ijah terkagum.
Bekerja jadi pembantu yang kurang lebih hampir sepuluh tahun di rumah ini semenjak menjada dan ketiga anaknyapun di sekolahkan oleh majikannya. Begitu beruntungnya diriku, akan aku abdikan diriku walau tidak secerah mentari namun tetap berusaha untuk menyinari kebahagiaan Den Aji dan keluarga.
* * *
Memang sekarang aku sudah sukses dalam pandangan orang lain, karena setiap waktu bagiku adalah libur mau ke luar negeri tinggal pilih jadwal mau makan enak tinggal pilih restoran mana yang hendak dituju. Tapi apakah kau menyadari betapa beratnya hidup ini, mungkin tentu anda belum pernah merasakannya. Semua itu mudah tinggal bagaimana kau menjalaninya.
Apalah arti kesuksesan usaha jika impian untuk memerdekakan juga belum kesampaian. Memang ku akui banyak dari berbagai partai menawari dirku untuk menjadi calon legislatif (caleg). Apakah ini sistem untuk merubah kebijakan di pemerintahan kita, iming-iming kekuasaan. Ya...kini partai menjadi alat untuk merubah segalanya, tapi apalah dayaku, dan mungkin mereka berpandangan kebajikanku dan kekayaanku. Akan aku ingat semua ini bahwa demokrasi dinegara ini hanya ditentukan nilai material saja.
Tapi apakah kau tahu, hampir seluruh waktu hidupku untuk memikirkan satu hal yaitu berupa kekecewaan atas nama pemerintahan negeri. Masih ingat dibenakku dimana setiap habis pulang sekolah aku diajak ibu melihat-lihat restoran dan penginapan kecil serta usaha ritel yang dijalankan bapakku.
Memang seperti itu gambarannya, orang mengira aku anak yang mewarisi jutaan dolar. Enak saja mereka bilang gitu, apa kau tahu perih getirku!
Negara inilah yang berkuasa barangsiapa tidak mengikuti perintahnya tunggu waktu kehancurannya. Inilah yang dialami mengapa bapakku sampai meninggal dunia dan ini akan selalu aku ingat.
Proyek pembangunan jalan tol dan pelebaran jalan telah mengusur usaha-usaha ibuku yang dibangunnya sejak lama hanya untuk membahagiakanku. Ganti rugi sudah diterima ibu. Tapi apakah kau tahu semenjak buldoser menghancurkan tembo-tembok itu, sakit jantung ibu kambuh.
Di rumah sakit ibu terbaring lemas, selama hampir empat bulan terkurung dengan aroma obat. Ratusan juta melayang hanya untuk mengobati penyakit yang belum tentu sembuh. Sampai-sampai rumah yang kami diami menjadi taruhan di pegadaian. Di ranjang itu ibu menghembuskan nafasnya. Aku hidup sendiri, rumah ngak punya, makan, minum, tidur meminta di kasihani oleh penduduk masyarakat setempat.
Namun aku menyadari ini adalah ujian yang harus aku hadapi. Akan tetapi aku masih ingat pesan ibu "Jangan sekali-kali menggangap segala sesuatu adalah mudah, wajar atau sepele dan berusahalah selalu serta jangan lupa berdoa kepada yang memberikanmu nafas hidup". Selamat tinggal ibu kaulah hidupku dan matiku.
Tidak sampai disini penderitaanku, sejak di tinggal ibu aku masih duduk di sekolah dasar. "Aku harus lulus", teriakku. Aku tidak harus bermodal kasihan sama orang lain, aku harus berusaha. Akupun turun kejalan mencari rupiah menjadi pengamen di lampu merah, bermodal tutup botol dan aransemen lagu yang aku ciptakan sendiri.
"Selembut ilmu basahi bibirmu, tidak ada ilmu sebelum embun dan mentari pagi maka berusahalah mendapatkan cinta". Namun lagi-lagi pemerintah dinegeri ini menghancurkan mimpi-mimpiku. Kerap kali Satuan Pamong Praja selalu mengarukku dan beberapa kali aku selalu dikejar-kejarnya. Bahkan sudah beberapakali aku masuk panti rehabilitasi untuk anak jalanan.
Puji syukur kehadirat Tuhan, semenjak aku menjadi pengamen dijalanan hingga mencapai bus-bus. Uang yang aku hasilkan aku pergunakan untuk membiayai sekolahku dan sisanya aku tabung. Aku lihat tabunganku sudah cukup lumayan, akupun berganti profesi.
Kini aku berjualan hingga jualan koran, minuman, rokok hingga permen sudah aku jalani semua. Mungkin inilah keberkahan yang aku dapatkan dan berkat rahmat Tuhan aku masih bisa membiayai sekolahku hingga aku lulus SMA.
Hari berganti hari waktu berganti detik menit hingga jam dan tahun kebaikan datang. Aku bisa mencicil membeli tanah dan mendirikan warung makan kecil-kecilan. Manusia yang selalu berusaha pasti akan mendapatkan jalannya. Lama-kelamaan warungku semakin ramai dan aku dapat menarik para pekerja dari mereka teman seperjuanganku anak-anak jalanan dan yang paling menyenagkan aku dapat melunasi angsuran tanah dan mendirikan rumah.
Begitu juga dengan kisah percintaan dengan istriku . Aku hanya lulusan SMA mendapatkan perempuan lulusan Perguruan Tinggi dan cantik pula. Aku bertemu dia pertama kali waktu di bus, masih kelas tiga dan aku perkirakan dia juga kelas tiga namun bukan SMU tapi SMP. Aku buntuti dia sampai rumahnya. Aku melihat kesederhanaan pada dirinya dan rumahnyapun tidak begitu megah.
Kejadian ini hampir cukup lama, tapi aku masih mengingatnya dialah idola wanita pertama. Lama sudah aku tidak bertemu dengannya dan slidik punya slidik dia sekolah di pesantren di Jawa Timur bahkan kuliahpun di pesantren. Sungguh hebatnya wanita ini, "Aku harus mendaptkannya", ungkapku lirih.
Aku beranikan datang kerumahnya, disambut salam oleh bapaknya. Sungguh bijaknya orang tua ini, sampai aku bingung mau mengatakan apa. Tiba-tiba dia keluar membawakan teh hangat kehadapanku, inilah wanita yang aku harap cemas yang sudah lama aku pendam untuk mendatanginya.
"Apa kau masih ingat padaku, pengamen jalanan yang sampai membuntutimu sampai rumahmu waktu kamu masih sekolah dulu". Bilangku sambil terbata-bata padannya
"Siapa ya..!". Berusaha untuk mengingatnya. Oh...kamu ya aku masih mengingat lagu yang selalu aku dengar di bus.
"Kenalkan namaku Aji Pramudya, siapakah namamu". Tanyaku padanya. Dia menjawab Ira Irianti as Syam. Begitulah aku mengenalnya, namun tidak sampai di situ perjuanganku. Banyak orang mengidolakannya dan ingin melamarnya, mungkin orang mengangap aku orang aneh.
Anak yang tidak punya orang tua, pakain kumel, wajahpun tidak sebegitu tampan, tidak berpendidikan pula. Tapi aku beranikan diri untuk mengungapkan rasa cintaku pada Ira gadis perinduku dan aku kasih dia gitar yang selama itu menemaniku mengais rupiah. Akupun melamarnya, ini bukan pertama kalinya dia di lamar, tekadku sudah bulat. Sungguh di luar dugaanku bapaknya memberikan sedikit wejangan.
"Pernikahan bukan persoalan materi namun cinta yang dibarengi dengan ketulusan mengharap ridho Illahi". Akupun pergi seketika, lantuna ucapan sang bapak selalu aku ingat.
Kenekatankupun muncul anak-anak jalanan yang berada diantara kehidupanku, aku kerahkan kerumahnya. Syair-syair cinta mengema ke angkasa dentuman melodi kasih menghiasi langit biru, burung-buurng berkicau mendampingi dan memberikan samangatnya kepadaku untuk mendapatkan mutiara yang indah.
Alhamdulillah Ira menyetujui lamaranku dan bapakpun bangga melihatku, "Ternyata dibalik kesederhanaan tercipta hal yang mulia", ungkapnya. Mungkin inilah adalah rahmat anak jalanan. Merdeka kau wahai anak jalanan..!
* * *
Terima kasih wahai ibu aku tidak akan melupakan nasehatmu, barang tentu aku akan mencoba untuk selalu mencintainya sampai akhir hayatku, seperti engkau mencintai setulus kasih untuk ayah. Kini aku bahagia dengan hasil usahaku, istri dan kedua anakku.
Tapi aku tidak akan melupakan kisah dimana ibu dan diriku menjadi korban pemerintah atas nama demokrasi dan kepemimpian orde baru tidak bisa lagi menyuarakan kebebasan padahal sudah lama negeri ini merdeka.
"Wahai Tuhan, begitu kejamnya dirimu mengirim pemimpin seperti itu di bumimu yang hijau dan biru"
"Tidaklah aku bermaksud untuk mencacimu, tapi adakah sedikit cahaya untuk menyilaukan pemimpin yang mengelapkan keagunganmu".
"Tuhan, ibu begitu bijaknya sampai ia rela mengadaikan nyawanya untuk memakmurakan bumimu". Ampunilah aku wahai Tuhanku atas kelancangan mulutku. Manusia yang sadar harus berjalan dengan kata "kejujuran". Kini semua sudah aku dapatkan dan sekarang banyak tawaran untuk menjadikan diriku untuk menduduki kursi jabatan di pemerintahan.
Inikah waktu yang diberikan untuk aku balas dendam, serta merubah tatanan yang selama ini membelengku dan orang yang tak mampu. Tapi apalah dayaku, aku masih merasakan wangi demokrasi banyak elit politik menumpuk materi dari jabatannya dan paling parahnya sampai melakukan selingkuh di departemen kebohongan.
Padahal materi bukan hanya di pemerintahan, ataukah elit partai memandangku hanya berupa materi yang aku miliki. Dengan limpahan harta dapat membeli kebenaran, menjadikan hukum tidak berfungsi. Sungguh munafik, biarlah aku hidup bahagia bersama keluargaku dan anak asuhku. Biarkan mereka berebut kursi di atas sana, aku hanya berpasrah diri kepadamu Ya...Rabb.
Jika sampai aku duduk di kursi jabatan, semoga saja engkau meridhoi-Nya dan jadikan segalanya hanya amanah-Mu, aku akan berusaha merubah negeri ini menjadi hijau atas kemakmuran dan kesejahteraan. Aku telah merubah dirku menjadi yang terbaik dan merubah keluargaku menjadi yang terbaik pula serta semoga mimpi untuk merubah segala impian terwujud.
"Ibu...". Tetesan air mata membasahi pipi Aji
"Terima kasih ibu". Aku akan selalu mengingat nasihatmu dan akan aku ajarkan kepada setiap keturunanmu.
* * *
Kepada anak-anakku tercinta. Berjuanglah menuntut ilmu dan ingat pesan ini "Jangan sekali-kali menggangap segala sesuatu adalah mudah, wajar atau sepele dan berusahalah selalu serta jangan lupa berdoa kepada yang memberikanmu hidup". Itulah ungkapan mendiang nenekmu.
Dan bapakmu hanya berpesan "Di pesantren akan mengajarkanmu tentang kecerdasan spiritual dan di sekolah mengajarkanmu kecerdasan intelektual melalui nasehat Kakekmulah engkau akan mendapatkan kecerdasan financial, emosional dan arti cinta sejati".
Kalimat nasehat tersebut terpampang rapi di tembok ruang keluarga terbingkai indah. Jadilah sang morvioues, bermimpi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hidupkan semesta ini dengan terang ilmu dan cahaya cinta. Kesuksesan bukan ditentukan materi, jabatan, kekuasaan akan tetapi kesuksesan terbesar kalau kita merasa cukup dan mampu memberikan yang terbaik untuk orang lain.
"Terima kasih ibu, i love you". (Lukni Maulana)
Posting Komentar