KYAI SHALEH DARAT - Warga Semarang jangan sampai tak mengenal siapa tokoh Mbah Shaleh Darat. Sebab, beliau adalah Waliyullah besar pada paruh kedua abad 19 dan awal abad 20 di tanah Jawa yang tinggal di Semarang. Mbah Shaleh Darat adalah salah satu tokoh kesohor dan berpengaruh di pulau Jawa yang hidup sezaman dengan dua Wali Allah besar lainnya: Syekh Nawawi Al-Bantani dari Banten, (dulu masuk Jawa Barat) dan Mbah Kholil Bangkalan, di Madura, timur pulau Jawa.
Mbah Shaleh Darat kadang menuliskan namanya sebagai Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani dalam karyanya. Dua orang muridnya yang kemudian menjadi sangat terkenal dan mempengaruhi Islam di Indonesia melalui organisasi yang mereka dirikan, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyyah dan KH Hasyim Asy'ari dengan organisasi Nahdlatul Ulama.
Mbah Shaleh Darat kadang menuliskan namanya sebagai Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani dalam karyanya. Dua orang muridnya yang kemudian menjadi sangat terkenal dan mempengaruhi Islam di Indonesia melalui organisasi yang mereka dirikan, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyyah dan KH Hasyim Asy'ari dengan organisasi Nahdlatul Ulama.
Kyai Muhammad Shaleh Darat lahir di Mayong, Jepara pada 1820 M (1235 H), dan wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M yang kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Bergota, Semarang. Ayahnya, Kyai Haji Umar, adalah pejuang yang bergabung bersama Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda. Mbah Shaleh belajar ilmu agama pertama kali kepada ayahandanya. Kemudian beliau meneruskan mengaji ke Kyai Haji Syahid, Waturoyo, Pati, Jawa Tengah.
Beliau kemudian diajak merantau oleh ayahnya hingga ke Singapura. Beberapa tahun kemudian mereka berdua menunaikan haji. Di tanah suci inilah ayahandanya wafat. Mbah Shaleh kemudian berketetapan hati untuk menetap sementara di Mekah guna belajar ilmu agama lebih dalam kepada beberapa ulama besar di sana. Di antara gurunya di tanah suci adalah Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi, Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan lain-lain.
Karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Mekah. Selama di Mekah ini beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya.
Akal, Budi dan Hati
Beliau kemudian mendirikan pesantren di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara Semarang. Oleh sebab itulah kemudian beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat. Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu. Menurut beliau inti Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hati. Dengan tiga hal itu, manusia akan mampu memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat.
Di antara muridnya adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Mahfuz Termas yang pakar hadits dan pendiri Pesantren Termas Pacitan, Kyai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, Kyai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kyai Haji Bisri Syamsuri, Kyai Haji Dalhar, yang juga dikenal sebagai Wali Allah dan pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, dan sebagainya.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini juga termasuk salah-satu muridnya. Menurut catatan cucu Kyai Shaleh Darat, RA Kartini pernah mempunyai pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam kepada Mbah Sholeh Darat. Sebab, Kartini pernah bertanya kepada guru ngajinya tersebut tentang arti sebuah ayat Qur’an. Padahal Kartini notabene santri baru yang awal memelajari Ayat Al-Qur’an.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan tersebut, Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Lantaran pernyataan Kartini itu, kemudian Mbah Sholeh Darat membuat karya terjemahan Al-Qur’an. Padahal, pada waktu itu, masa penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Namun Mbah Shaleh Darat tetap melanggar larangan ini. Beliau kemudian menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon). Hal itu bertujuan agar tak dicurigai penjajah Belanda.
Oleh Mbah Sholeh Darat, kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “ Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” ujar Kartini.
Melalui terjemahan Mbah Shaleh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang kemudian menjadi judul buku kumpulan surat-menyuratnya. Namun sayangnya penerjemahan kitab ini tidak selesai karena Mbah Shaleh Darat keburu wafat. (gis)
Posting Komentar